Selasa, 17 Juli 2007

GINA :: TRANSFORMASI

Aku hadir di sini,
Menyaksikan dunia,
Yang tidak terbingkai
Oleh jarak dan waktu....
Aku kelana
Tanpa tujuan yang pasti,
Yang terkandang
Tak melihat apapun di depan,
Tapi aku tak ragu
Aku mantap melangkah
Tapi pasrah dalam hati
Seperti sehelai bulu
Yang melayang terbuai angin
Mengarungi jarak dan waktu
Berbekal keyakinan
Bahwa DIA
Akan mengirimku ke tempat, yang tepat
Dan waktu yang
Diinginkan-NYA juga.....

.........


Gambar di samping adalah karya GERDI WK, pewarnaannya oleh damuhbening

Waktu yang diinginkan telah tiba. Rupanya inilah waktu yang dirasa tepat. Dia memang harus hadir kembali meramaikan kancah perkomikan Indonesia yang sudah cukup lama sepi....

DAN...

Kini GINA telah hadir kembali, menyesuaikan diri dengan tubuh baru yang disinggahinya. Lingkungan baru yang sebenarnya sudah dikenalnya cukup lama. Mungkin generasinyalah yang tidak mengenalinya lagi.

Butuh peyesuaian. TENTU! Kita sedang terbuai oleh indahnya imajinasi dari negeri orang, terutama manga!, yang telah membanjiri ranah perkomikan Indonesia dengan segala kepiawaiannya. Maka wajar jika komik Indonesia sendiri harus “exiuse”, yang mestinya tak harus!

GINA-pun tak lepas dari kondisi ini. Dia harus memperkenalkan dirinya kembali dengan berbagai cara kalau ingin disadari kehadirannya. Manga-pun dulu rasanya seperti itu. Sebagai contoh serial Kungfu Boy karya Takashi Himekawa. Pertama kali terbaca di halaman harian BERNAS, hariannya Jogja. Setelah cukup lama dan mulai dikenal oleh masyarakat, baru kemudian hadir edisi cetaknya. Nyatanya waktu itu serial ini cukup laris minimal di wilayah Jogja dimana surat kabar itu beredar. Selain karena memang jalan ceritanya yang menarik. Disusul kemudian ditayagkannya versi animasinya di stasiun TV Swasta. Demikian juga halnya dengan komik-komik Jepang lainnya yang tergolong laris di pasaran. Sebut saja misalnya; Doraemon, Sinchan, Dragon Ball, Conan dan masih banyak lagi.

Bagaimana caranya GINA menyatakan kehadirannya, itu akan sangat berpengaruh bagi perkembangannya kemudian. Apakah dia benar-benar akan dikenal oleh lingkungannya sekarang, itu sangat tergantung dengan bagaimana dia memperkenalkan diri. Sejauh mana keseriusannya untuk memenuhi keinginan untuk kembali berjaya di wilayah yang lama tapi baru ini. Karena tidak akan cukup jika hanya sekedar untuk bernostalgia belaka.

Pada kenyataannya, kondisinya belum berubah. Mungkin ini hanya berlaku di wilayah tertentu? Entahlah. Sebagai gambaran sederhana, kondisinya seperti ini; Denpasar, kota yang cukup besar. Toko bukunyapun lebih dari lima lokasi dan ini cukup besar dari segi pengunjungnya. Di masing-masing toko buku, dari sekian banyak toko buku yang ada, hanya satu toko buku yang memajang komik GINA. Itupun hanya ada tiga exemplar. Setelah hampir setahun berlalu, jumlah itu tidak berubah sama sekali, masih sama seperti tahun yang lalu. Dan sampai sekarang masih pada episode pertama, padahal diketahui kalau serial ini sudah memasuki episode dua dan mungkin juga tiga. Selain itu tempat peletakannyapun sangat tersembunyi dan tidak tertangkap mata. Salah siapa? Lalu bagaimana dengan daerah Indonesia lainnya? Entahlah! Semoga lebih baik kondisinya.

Kalau melihat kondisi ini, maka GINA belum sesungguhnya mewujudkan dirinya pada kalayak pembaca komik Indonesia. GINA harus berjuang lebih keras lagi, supaya kehadirannya sungguh dirasakan. Dan ini mungkin juga bukan hanya untuk GINA saja, tapi untuk komik-komik lokal lainnya. Jangan sampai harapannya yang begitu besar berakhir seperti renungan GINA pada halaman penutupnya di edisi pertama ini.....

“Aku Gina kuat, bisa menembak, dan tentu bisa terbang!”

“Sekali waktu aku harus mencobanya, tapi jangan sampai terlihat orang....”

“Aku harus menjaga privasi...”

Dan pada panel terakhir, GINA kembali berkata dalam hati:

“Tentang Elbana, biarlah ini Cuma menjadi kenangan, biarpun mungkin benar kami pernah bersama di masa lampau...”

Jangan sampai kemudian GINA bernasib sama dengan renungannya itu. Dia harus mewujudkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Agar benar-benar dikenal dan di cintai. SEMOGA!!!

Jumat, 13 Juli 2007

Si Jampang Jago Betawi

Terbit pertama kali: 1968

Limited Edition: September 2006

Nama: Jampang
Julukan
: Si Jampang Jago Betawi
Asal: Desa Cemara, Betawi
Ciri-ciri fisik: Tubuh besar dan kekar, dada berbulu, kumis melintang
Istri: Rabiah (alm)
Senjata: Sebilah Golok

illusrtasi Ganes TH




Konstum: Baju hitam dengan bagian dada terbuka, celana tigaperempat hitam, kain sarung
melilit di pinggang, sebilah golok terselip di pinggang, ikat kepala.
Guru
: Banteng
Sahabat: Rabin, Dadap
Slogan
: Jampang Jago Dulu, Kumis Melintang Dada berbulu
Musuh Utama
: Penguasa Belanda (VOC)
Musuh Lain
: Mandor Jun, Komar, Ki Sima, Raisan, Ibnu (adik), Inspektur Frans, Si Komeng.
Artist
: Ganes TH
Sumber Cerita
: Jampang Jago Betawi, karya Zaidi Wahab


Illustrasi dan pewarnaan oleh: damuhbening



Dalam perjalanannya, Si Jampang melalui 10 episode oleh artist Ganes TH. Dan dua seri terpisaholek komikus lainnya selama kevakuman kerja Ganes TH. Kisah yang terpisah itu adalah karya A. Tatang S dengan Si Jampang Kembali ke Batavia sepanjang 4 jilid dan Kisah Tiga Iblis di Rawa Naga. Selain komikus A. Tatang S ada seorang komikus perempuan yang juga membuat komik kisah Si Jampang ini yaitu, Tati S dalam kisah yang berjudul Pembasmi Seruling Maut.

Pustaka:
Serial Si Jampang Jago Betawi 1-10 Limited Edition (Koleksi Pribadi)
Ganes TH Si Jampang dan Dunia Betawi, MATABACA vol. 3 No. 11, Juli 2005

Rabu, 11 Juli 2007

Komik Indonesia, Mati Karena Kutukan


Sumber: Bali Post, Minggu, Umanis, 4 April 2004

Komik buatan komikus Indonesia pernah berjaya dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu terjadi pada rentang tahun 1970-an. Pada masa itu, hampir setiap hari selalu saja ada komik baru yang terbit dan beredar. Taman bacaan yang menyediakan komik untuk disewakan tumbuh subur. Pengunjungnya kebanyakan anak sekolahan. Mereka seperti keranjingan membaca komik sehingga banyak yang melupakan buku pelajaran. Bisa jadi, karena itulah kemudian banyak para orang tua yang sangat memusuhi dan menyatakan perang pada komik. Namun, bagaimana “sejarah” komik Indonesia?

Ketika masa jayanya komik Indonesia, pusat komik pada waktu itu adalah Jakarta dan Bandung. Dari dua kota besar itulah komik lalu menyebar keseluruh kota di Indonesia. Namun demikian, ada beberapa kota lainnya lagi yang juga ikut meramaikan perkomikan di Indonesia, diantaranya Surabaya, dan Semarang. Pada era 1960-an, pusat perkomikan Indonesia justru berada di Medan. Saat itu Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn menjadi komikus yang amat disukai.

Lantas, yang menjadi pasar perkomikan Indonesia pada era 1970-an adalah Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Ganes TH, Hans Jaladara, Jeffry, SIM, Zaldy, RA Kosasih, Sopoiku, Usyah, Masur Daman, Leo, Djair, Wid NS, Ardisoma, Oerip, Hasmi, Tati, Hengky, dan sejumlah nama lainnya. Mereka hadir dengan cirinya masing-nasing seperti silat, roman, wayang, dan humor.

Puncak kejayaan komik Indonesia agaknya telah membuat “mabuk” para pelaku pasar perkomikan Indonesia. Kontrol terhadap kualitas komik yang dipasarkan menjadi sangat longgar, sehingga banyak kemudian bermunculan komik-komik dengan kualitas secara keseluruhan yang sangat jelek. Ini terutama ada pada komik-komik cerita HC Andersen yang dibuat oleh para komikus dadakan. Di samping gambarnya yang tidak bagus, tipografinya pun tidak memadai. Ini tidak berlaku untuk komik serupa buatan Gerdi WK.

Perlahan tapi pasti, pencinta komik Indonesai mulai berpaling. Taman bacaan yang menyewakan komik mulai sepi pengunjung, dan malahan ada yang langsung menutup usahanya itu. Para penerbit menghentikan kegiatannya karena pasar komik terlihat sudah jenuh. Para komikus tentu saja menjadi orang yang sangat terpukul oleh situasi ini. Tetapi syukurlah pada masa itu Koran dan majalah masih mau menyediakan halaman untuk di isi komik. Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Wid NS, Hasmi, Masur Daman, Ganes TH, dan sejumlah komikus yang berkualitas lainnya, karya-karyanya masih bisa dinikmati di Koran Sinar Harapan (Suara Pembaharuan), dan majalah remaja HAI. Sementara di Bali, khususnya Koran Bali Post edisi Minggu, sempat menyediakan halaman tertentu untuk pemuatan komik dari komikus lokal.

Komik Indonesia makin terpuruk saja ketika koran dan majalah mulai menggeser ruangan dari komik. Komik lantas “tidak punya rumah” dan “tidak mampu mengontrak rumah”. Pelan namun pasti, komik Indonesia kemudian masuk ke liang kubur. Apalagi setelah masuknya manga (komik Jepang) yang memenuhi rak-rak toko buku dan kamar anak Indonesia. Malahan yang lebih memprihatinkan lagi, ada komik Jepang yang cara membacanya masih tetap dari belakang, padahal bahasanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Anehnya lagi para orang tua sekarang, tidak ada yang memusuhi komik.

Dewasa ini komik Indonesia boleh dikatakan sudah mati, seiring berpulangnya para kamikus seperti Yan Mintaraga, Ganes TH, SIM, Teguh Santosa, Wid NS, dan Tagus Hardjo. Boleh jadi, mereka itu adalah para “pahlawan” komik Indonesia yang pernah begitu perkasa di bumi Nusantara. Sepertinya tak ada yang merasa kehilangan, apalagi merasa berduka.


Relief Candi
Apakah komik itu? Kamik adalah sebuah buku yang berisi gambar dan tulisan (cerita). Oleh karenanya, buku yang satu ini juga dikenal dengan sebutan cerita bergambar (cergam) – sebuah cerita dirangkai pada panil-panil yang berisi gambar, tokoh-tokohnya berpikir dan berbicara melalui gelembung-gelembung yang berisi kata-kata. Namun, pada awal kehadirannya, tepatnya ketika Medan menjadi pusat perekonomian di Indonesia, tampilan komik tak seperti sekarang. Pada masa itu, para komikus tidak memakai gelembung kata, tetapi langsung menulis kata-kata yang diucapkan para tokoh, menyatu dengan kalimat lainnya.

Dilihat dari bentuknya, agaknya beberapa peninggalan sejarah masa lalu bisa dianggap sebagai cikal bakal dari komik Indonesia. Tengoklah relief yang ada pada dinding-dinding candi yang ada di Jawa. Di sana terlihat gambar-gambar ukiran dalam panil-panil yang menceritakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan relief dan gambar yang ada di banyak pura di Bali. Juga terlihat adanya kesamaan dengan komik yang dikenal dewasa ini. Cuma dalam relief dan gambar tersebut tidak ada tulisan yang menyertai sebagai keterangan gambar.

Lukisan wayang Kamasan-pun agaknya bisa dikatakan sebagai cikal baka; perkembangan komik di Indonesia. Pada lukisan wayang Kamasan, disamping gambar, juga ada tulisan yang berfungsi untuk menjelaskan gambar. Bidang kanvas-pun sering dibagi menjadi 4-5 bidang kecil, masing-masing bidang di isi gambar dan tulisan. Gambar pada masing-masing bidang berhubungan dan menjalin sebuah cerita. Gambar pada langit-langit bangunan Kerta Gosa di Klungkung bisa jadi merupakan komik terbesar yang pernah dibuat di Bali. Pun dengan lontar-lontar yang ada di Bali, kalau dilihat dari tampilannya, bisa juga dianggap sebagai periode komik sebelum dikenal adanya kertas di Bali, dan sebelum komik dibuat menyerupai buku jilid.


Tonggak Awal
Periode Medan bisa dijadikan sebagai tonggak awal kesuksesan kimik Indonesia di negerinya sendiri. Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn adalah dua komikus yang pantas disebut pembaru. Karya keduanya yang bertemakan cerita daerah Sumatra, terlihat sangat ilustratif. Komik karya mereka menawarkan nilai estetis yang sebelumnya terabaikan. Pada masa itu, terutama Taguan Hardjo, gaya komiknya yang sangat khas, terlihat dalam banyak komiknya ia sudah menggambar dengan memperhitungkan angel yang bervariasi. Bukan itu saja, bakat besar yang dimilikinya kemudian menghasilkan gambar-gambar yang sangat indah dan atraktif. Namun sayang, mereka tidak memiliki penerus, sehingga pada tahun 1971, penerbitan komik di Medan pun kolaps.

Kesuksesan komikus Medan lalu berlanjut ke kota-kota besar di Jawa seperti Bandung dan Jakarta, Solo, dan Surabaya. Pada masa inilah muncul nama-nama komikus Yan Mintaraga, Ganes TH, Tegus Santosa, Hans Jaladara, Djair Warni Ponakanda, Raf ZS, Hasmi, Wid NS, Rim, Sim, Zaldy, Jeffry, Usyah, Hengky, Mansur Daman, Yudah Noor, dll. Ketika itu, dua komikus wanita yang cukup produktif adalah Tati dan Wied Senja. Mereka umumnya menggarap tema roman dan silat untuk cerita komiknya. Sementara untuk tema pewayangan yang kemunculannya lebih awal guna meredam dominasi komik Barat, banyak digarap oleh Ardisoma dan RA Kosasih. Tema kocak atau dagelan banyak dikomikkan oleh Oerip, Inris, dan Sopoiku. Boom komik menyebabkan banyak kemudian bermunculan komikus-komikus baru. Ada yang berkualitas, namun lebih banyak yang tidak, terutama dari segi gambarnya. Pasar kemudian dijejali komik-komik dari cerita HC Andersen dan Grim. Ceritanya memang bagus, namun gambarnya keteteran. Pada waktu itu setiap hari selalu saja ada komik baru yang beredar di pasaran. Mungkin karena peluang pasar yang sangat menjanjikan, para penerbit dan komikus lupa untuk mempertahankan mutu komik yang akan diterbitkan. Pada akhirnya pembaca komik menjadi bosan dengan cerita yang dikarang seadanya, ditambah lagi dengan gambar yang jauh dari nilai artistik.

Kini, disaat buku komik terjemahan semacam Doraemon, Lets And Go, Detektif Conan, hingga Monika banyak beredar dipasaran, komik Indonesai justru menghilang. Kalaupun ada, komik tersebut, umumnya dipajang di tempat yang luput dari perhatian orang. Seandainya-pun ditempatkan ditempat yang bagus, jarang sekalia ada orang yang mau memperhatikan. Agaknya komik Indonesai sudah termakan kutukan masa lalu yaitu kutukan dari para orang tua yang anti-komik. Tetapi anehnya, kematian komik Indonesai justru mengawali kebangkitan komik asing di negeri ini. Walaupun komik asing belum tentu lebih bagus dan lebih bermoral dari komik buatan komikus lokal, dewasa ini jarang sekali ada orang tua yang mengutuk dan mengharamkan komik untuk dibaca oleh anak-anaknya. Ah, komik Indonesia nasibmu kini….
§ gungman

..................
Tulisan yang di unduh dari surat kabar Bali Post itu, memperlihatkan bagaimana nasib komik Indonesai dua tahun lalu. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah masih seperti itu? Atau sebaliknya? Pada kenyataannya, belakangan ini rasanya mulai membaik, dari segi kehadiran komik Indonesia. Beberapa komik lama yang di re-master mulai menggeliat. Mulai menampakkan dirinya. Miskipun belum sejelas di masa lalu. Pelaku atau pengemar komik Indonesai mulai gerah, beberapa percetakanpun mulai membuka diri terhadap hadirnya komik lokal ini. Dengan semangat yang sama, demi bangkitnya kembali komik Indonesia. Hanya, mudah-mudahan saja semuanya tidak sekedar eforia atau istiah umumnya “hangat-hangat tahi ayam”....sebentar aja dingin.

Kalau dilihat dari generasi muda, minimal dilingkungan yang dapat terjangakau, penerimaan terhadap komik Indonesia masih belum begitu terasa. Entahlah apa sebabnya. Apakah sama dengan yang di ungkap pada artikel Bali Post tersebut? Entahlah. Atau karena memang budaya masyarakat kita yang memang tidak suka pada kasanah bangsa sendiri. Banyaklah contohnya. Bahasa, mereka lebih fasih berbahasa asing yang kadang lebih asing dari orang asingnya sendiri. Berpakain meniru gaya negara tertentu yang belum tentu pas dengan kondisi kita. Begitu juga dalam membaca komik, kalo bukan maga...gak mau baca. Meraka pikir manga selalu bagus. Karena itu komik dari Jepang. Atau mungkin juga kita sudah kalah propaganda oleh negara lain. Kita sedang senang dan bangga terjajah. Di segala segi. Dan mungkin juga berlaku dalam perkomikan kita dewasa ini.

Rasanya untuk dapat berbenah kita harus sadar dengan beberapa hal penting, seperti di bawah ini:

Sampaikapan hal ini akan terjadi? Sampai kita sadar! Kita-lah yang wajib menjawabnya. Maunya sampai kapan!

Untuk apa? Untuk menghargai karya anak bangsa, bangsa kita sendiri, Bangsa Indonesia.

Haruskah? YA! Demi sebuah Martabat.
Martabat? Komik gitu loh!, Sehebat itukah permasalahannya? Ya!, karena Komik bergerak di bidang seni, budaya, tingkah laku, cermin kecerdasan. Lihatlah Manga....hanya dengan lembaran-lembaran kecil itu kita bisa mengenal nama-nama daerah satu negara, ciri buda mereka, cara berpakaian mereka, imajinasi meraka, keahlian gambar mereka, yang pada kenyataannya bisa membius kita untuk terus menerus merogoh saku belanja kita untuk membelinya. Lihat juga pengaruhnya, kita meniru cara menggambar figur seperti yang mereka lakukan dan kita bangga waktu kita bisa melakukannya. Bahkan ada yang menyamarkan nama ke-Jepang-Jepang-an untuk mengarang sebuah komik biar bisa diterima di kalangan pembacanya. Apakah dengan melihat ini bukan merupakan permasalahan yang hebat.
Itu baru sebagian kecil dari hal besar yang harus dijadikan titik tolak. Yang jelas kalau kita mau, pasti kita bisa. Tidak sedikit generasi muda kita punya kemampuan yang tidak kalah dengan mereka-mereka yang dari luar sana. Yang perlu kita tiru adalah, bagaimana cara mereka bekerja, cara mereka berpromosi, cara mereka menggali ide cerita, dan cara mereka menjadikan kita jatuh cinta setengah mati. Kalau kita tidak ingin dunia komik Indonesia mati. Karena rasanya tidak ada kutukan disini.

Si Buta Dari Goa Hantu :: Misteri di Borobudur

Judul : Misteri di Borobudur
Katagori : Cerita Silat
Pengarang : Ganes TH
Sampul : Ganes TH, G. Santosa, Erwin Prima Arya
Penerbit : Pustaka Satria Sejati
Ukuran : 15 cm X 20,5 cm
Tebal : 126 Halaman

Dicetakan pertama kali tahun 1967
Cetak Ulang Re-master: Oktober 2005







“Tuhan telah menciptakan jalan ini untuk ku tempuh, langit tempatku bernaung, pohon tempatku meneduh dari terik sang mentari dan hujan. Aku berada di mana-mana. Itulah duniaku...!”

Sebait kata yang diucapkan oleh Barda Mandrawata, Si Buta Dari Goa Hantu. Kata-kata penutup dari kisah awal perjalanan panjang ini. Kata-kata yang menghiasi panel halaman terakhir dari seri pertama Si Buta Dari Goa Hantu. Kata-kata yang mewakili “takdir”-nya sebagai seorang petualang, pembela kebenaran. Dan kata-kata ini pulalah yang menghiasi halaman pertama dari edisi kedua yang berjudul Misteri di Borobudur.

Candi Borobudur, candi yang megah itu, yang sudah terkenal diseluruh dunia, kekayaan yang tak ternilai dari bangsa ini, menjadi setting kisah ini. Seperti halnya Borobudur itu sendiri yang merupakan sebuah harta warisan, dan harta warisan yang ditanam dan disimpan dekat candi megah inilah yang menjadi pangkal cerita kali ini. Harta warisan yang seharusnya membahagiakan generasi penerusnya, kini menjadi bencana akibat keserakahan. Ini juga bisa menjadi cermin bagi kita untuk bisa bersikap yang lebih afir akan harta warisan yang telah kita miliki. Supaya dapat menjadikan kebahagiaan bagi generasinya. Sebuah kisah yang sarat akan pesan.

Penghianatan, cinta segi tiga, dan penghalalan segala cara, untuk mencapai tujuan, menjadi alur utama kisah ini. Bagai sebuah labirin. Berliku, penuh misteri. Banyak tokoh terlibat. Dua generasi. Dengan cinta segi tiga. Dendam dan harta.

Dalam kisah ini, ada satu alur utama, harta warisan Raden Mas Bimo Adirekso. Dalam perjalanan perebutan harta warisan ini, timbul rangkaian penghianatan. Karakter tokoh yang kadang tak terduga selalu menghiasi karya Ganes TH ini. Jangan pernah menyimpulkan sesuatu, sebelum selesai membaca sampai pada halam terakhir.

Kepiawaian Ganes TH dalam merangkai kisah, terlihat jelas dalam episode ini. Dia tidak hanya sekedar menjadikan Candi Borobudur sebagai setting semata. Tapi sekaligus menjadikannya sebagai kunci dan sekaligus saksi bisu sebuah keserakahan manusia. Tanpa Borobudur maka dalam kisah ini harta itu tidak akan ditemukan. Kuncinya adalah Borobudur itu sendiri. Penautan kisah yang cerdik. Sehingga dalam kisah ini keberadaan Candi Borobudur memang menjadi bagian dari cerita. Bukan hanya sekedar pemanfaatan ketenaran situs itu saja.

“Hidup adalah bagian gumpalan mega....
Kadang berkumpul, bercerai, dan berkumpul kembali....”

Satu lagi pesan indah yang disampaikan oleh Ganes TH lewat karekter Si Buta Dari Goa Hantu, sebagai penutup panel halaman terkahir. Pesan yang bisa menjadi renungan bagi kita. Begitulah Ganes TH kadang seringkali menyelipkan pesan-pesan indahnya dalam tiap karyanya.

Dalam edisi ini, dilengkapi pula dengan sambutan dari Djair Warni (pencipta “Jaka Sembung”). Adapula komentar-komentar singkat dari: Arswendo Atmowiloto, dan Hans Jaladara. Buku ini ditutup dengan komentar dari Herry Topan produser/sutradara film yang pernah mengangkat kisah Si Buta Dari Goa Hantu ke layar kaca. Dan buku ini semakin lengkap dengan ditampilkannya beberapa photo yang diambil dari film layar lebar yang di bintangi oleh Ratno Timoer.

Hanya saja, untuk edisi ini, rasanya dari segi cover masih kurang menarik, terasa saling tumpang tindih. Pengambilan momennya-pun rasanya kurang pas, karena jika kita membacanya secara keseluruhan ada beberapa alternatif momen yang sangat bagus untuk dijadikan cover yang bisa juga mewakili jalan ceritanya. Momen dimana saat Barda Madrawata terpekur kelelahan diantara asap belerang (panel 1, halaman 75) dengan catatan sudut pandangnya dirubah dari depan.



Momen lainnya yang bagus adalah, ketika Si Buta Dari Goa Hantu sedang menyangga dua tubuh dengan kelelahan sehingga sampai tersimpuh diantara bara dan asap belerang (panel 2, halaman 67), dan untuk yang ini bisa dibuat lebih dramatis dengan meletakkan dua tubuh itu terkulai di samping kanan dan kiri Barda yang sedang tersimpuh.





Alternatif berikutnya adalah, ketika Barda Mandrawata berdiri lesu di sisi stupa candi Borobudur sementara pada latar depan tampak tubuh Sekar Ningsih duduk bersandar di salah satu stupa lainnya yang sedang menatap Barda dengan penuh keheranan (panel 1, halaman 82).


Semua momen ini bisa menjadi pilihan karena hampir sama-sama menunjukkan misteri...keganjilan...”ada apa dengan Barda?”, cuma memang butuh sentuhan lagi disana-sini, begitulah kira-kira perasaan saat melihat momen-momen itu. Tapi semuanya kembali berpulang pada tim kreatifnya. Bagaimana mereka melihat sisi yang pas untuk sebuah cover.

Terlepas dari semua itu, episode ini tetap menawan untuk di baca dan layang menjadi koleksi bagi penggemar komik anak negeri.

Sabtu, 07 Juli 2007

Si Buta Dari Goa Hantu

Judul : Si Buta Dari Goa Hantu
Katagori : Cerita Silat
Pengarang : Ganes TH
Sampul : Erwin Prima Arya
Penerbit : Pustaka Satria Sejati
Ukuran : 15 cm X 20,5 cm
Tebal : 128 Halaman

Dicetakan pertama kali tahun 1967
Cetak Ulang Re-master I : Januari 2005
Cetak Ulang Re-master II: Maret 2005



Episode ini berseting kurang lebih seabad yang telah lampau (demikian tertulis pada narasi panel pertama halaman pertama dari komik Si Buta Dari Goa Hantu ini).

Pada episode pertama ini terbagi dalam 2 bagian, meskipun terjilid dalam satu buku, dengan jumlah halaman tiap bagiannya 64 halaman. Jadi secara keseluruhan berjumlah 128 halaman.

Edisi ini, disertai sebuah kata sambutan dari penerbit yang bertemakan “Seuntai Pengantar” yang isinya kurang lebih; sebagai pemberitahuan atas telah terbitnya kembali komik Si Buta Dari Goa Hantu ini. Dilengkapi juga dengan pemberitahuan persiapan akan penerbitan cerita selanjutnya. Dalam tulisan pengantar tersebut dikatakan bahwa seri “Misteri Di Borobudur” dan Banjir Darah Di Pantai Sanur” telah disiapkan penerbitannya.

Pada halaman berikutnya, dilengkapi dengan sebuah kata sambutan oleh tokoh budayawan kita yang sudah terkenal dalam bidangnya yaitu; Arswendo Atmowiloto. Dalam sambutan tersebut disampaikan sedikit mengenai keistimewaan seorang Ganes TH dari sudut pandangnya, juga harapan akan manfaat hadirnya kembali tokoh komik yang merupakan aikon komik Indonesia di masa lalu : Si Buta Dari Goa Hantu.

Di bagian akhir halam, disertakan “Profil Ganes TH dalam Kenangan”, yang menceritakan perjalanan proses kreatif, pendidikan serta sedikit suka duka sosok yang bernama Ganes TH. Juga imbas dari kesuksesan Si Buta Dari Goa Hantu pada masa itu. Diakhiri dengan kabar keberpulangan sang maestro komik Indonesia ini.

Sampul penutup tak juga kosong, karena dimanfaatkan untuk mencantumkan “Daftar Judul Serial Si Buta Dari Goa Hantu”. Pada sisi luar sampul tersaji komentar singkat dari Arswendo Atmowiloto dan Hans Jaladara (pencipta “Panji Tengkorak”).


JILID 1:

Diawali dengan hadirnya sosok tokoh yang memberi bantuan pada seorang laki-laki yang sedang memanggul seorang anak di bahunya, yang sedang kesulitan mencari jambu.

Panel kemudia berpindah tempat. Dialog antara Barda Mandrawata dengan Marni Dewanti yang sedang lewat untuk menuju sawah bapaknya yang sudah siap menunggu untuk makan siang. Dua orang ini adalah sepasang kekasih yang sudah berencana untuk segera menikah.

Panel berpindah lagi pada Marni Dewanti yang sedang beristirahat bersama ayangnya yang bernama Gandra Lelajang, untuk makan siang. Tiba-tiba saja mereka diusik oleh seorang buta yang tanpa alasan yang jelas, langsung mengganggu mereka. Berakhir dengan tragedi terbunuhnya dua orang ini, Marni Dewanti dan ayahnya.

Berselang setelahnya, saat penduduk yang kebetulan lewat di lokasi pembunuhan, melihat sosok Marni Dewanti dan ayahnya sudah meninggal. Para penduduk tersebut sempat mengejar si pembunuh dan terjadilah pertarungan yang tidak seimbang. Para penduduk yang jumlahnya lebih banyak itupun akhirnya terbunuh. Tinggal satu orang yang sengaja dibiarkan hidup untuk dititipi pesan oleh orang buta itu. Pesannya adalah tantangan pada guru perguruan Elang Putih untuk bertarung dilembah Jagat Pangeran. Saat itu pulalah orang buta sakti itu memperkenalkan namanya sebagai Si Mata Malaikat. Rupanya ini adalah awal dari kisah panjang Si Buta Dari Goa Hantu.

Perguruan Elang Putih adalah milik Paksi Sakti Indrawatara, ayang Barda Mandrawata, kekasih Marni Dewanti yang terbunuh oleh Si Mata Malaikat. Dari sini kemudian cerita mengalir cepat sampai terbunuhnya Paksi Sakti Indrawatara ayah Barda. Atas kekecewaan tersebut dan karena sadar akan kemampuannya sendiri, akhirnya Barda Mandrawata mengungsikan diri dari desanya untuk kemudian melatih diri dalam pengasingannya.

Di sisi lain, Mata Malaikat menguasai perkampungan dan melakukan pembantaian terhadap sisa-sisa murid perguruan Elang Putih. Dalam pengasingan Barda terus melatih diri, bahkan sampai mengalami proses keputusasaan yang luar biasa. Yang lebih mengejutkan lagi adalah keputusannya untuk membutakan matanya. Apa alasannya?!, temukannlah jawabannya dalam buku komik yang menawan ini.

Cerita terus mengalir cepat, penuh misteri yang hanya terjawab diakhir cerita. Bagian satu ini.


JILID 2:

Pada panel pertama telah disuguhi dengan keteganag puncak. Barda Mandrawata terjatuh kedalam jurang yang sangat dalam, akibat dari pertarungan yang diuraikan pada Jilid 1. Pada jilid 2 inilah diceritakan proses penemuan baru, seorang Barda Mandrawata, yang kemudian dikenal dengan Si Buta Dari Goa Hantu.

Dalam Jilid 2 ini, lahir sosok baru dari Barda Mandrawata yang bergelar Si Buta Dari Goa Hantu dengan pakaian khasnya dari kulit ular. Di jilid 2 ini pula diceritakan pertemuan Barda dengan seekor lutung yang kemudian terkenal bernama Kliwon.

Musuh-musuh yang dihadapi bertambah hebat. Pertempuran semakin seru. Kisahnya semakin mendebarkan. Dan diakhir bagian ke dua ini merupakan titik awal petualangan Barda Mandrawata….Si Buta Dari Goa Hantu.

Cerita komik ini sangat enak untuk dibaca. Semua karena coretan kas Ganes TH yang sangat istimewa. Pengetahuan anatomi yang sempurna. Dengan goresan yang tegas tapi berkarakter. Belum lagi unsur pencahayaan “shadowing” yang sangat pas! Disinilah terlihat kwalitas gambar Ganes TH. Kelebihan lainnya adalah dari segi pengambilan sudut pandang. Tiap panelnya menyajikan sudut-sudut yang istimewa, kadang sudut pandangnya tak terduga. Rasa-rasanya tiap frame yang ditampilkan seperti sebuah kamera yang sedang merekam tiap kejadiannya. Kadang sudutnya begitu sempit, tiba-tiba melebar. Tak jarang pengambilan sudut pandang dari atas yang menimbulkan kesan suasana sekitar kejadian dan posisi masing-masing karakter yang sedang terlibat atau bahkan dari bawah sehingga tokoh-tokohnya terlihat gagah-megah. Long shot dan Close Up –nya pun terasa sempurna. Selalu sesuai dengan momen tertentu yang sedang terjadi.

Bukan hanya itu keistimewaan yang dimiliki oleh Ganes TH. Karena kekuatan ceritanya begitu terjaga dari awal sampai akhir. Tidak berkesan terburu-buru atau diperlambat. Semua seperti normal saja. Berjalan dan mengalir begitu saja. Misteri diawal, lalu cerita mengalir dalam proses penyelesaian, dan misteri terungkap diakhir cerita.

Makanya, bagi pecinta komik anak negeri, rasanya komik Si Buta Dari Goa Hantu yang merupakan episode awal dari petualangan Barda Mandrawata, rasanya menjadi layak sebagai wajib baca dan koleksi. Demi bangkitnya kembali Komik Indonesia.

Selamat membaca! Sambil menunggu kelanjutan kisanya.

Selasa, 03 Juli 2007

Si Buta Dari Goa Hantu :: Si Buta Kontra Si Buta

Judul : Si Buta Kontra Si Buta
Katagori : Cerita Silat
Pengarang : Ganes TH
Sampul : -
Penerbit : Nineart Publishing dan Bentang Pustaka
Ukuran : 16 cm X 21,8 cm
Tebal : 32 Halaman

Dicetakan pertama kali tahun 1978
Cetak Pertama : 19 Maret 2004 (begitu tertulus dalam bukunya)







Ini adalah komik serial Si Buta Dari Goa Hantu seri ke 10, dari 19 seri yang pernah terbit. Kalau dilihat dari tahun cetaknya maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah komik pertama dari seri perjalanan panjang Barda Mandrawata yang dicetak ulang. Entah apa alasannya, tiba-tiba meloncat pada seri ke 10. Penerbitannya kelihatannya bersamaan dengan cetak ulang edisi ke 5 yang berjudul Prahara Di Bukit Tandus (diulas terpisah). Ini kalau di lihat angka tahun cetak dari kedua buku ini. Komik ini merupakan komik terpendek jika dibandingkan dengan seri-seri lainya, yang biasanya diatas 100 halaman, bahkan ada yang 672 halaman. Komik ini hanya 32 halaman.

Komik dengan cetakan tahun 2004 ini adalah EDISI KOLEKSI demikian tercantum pada cover bukunya. Dengan ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan edisi cetak ulang seri-seri berikutnya. Mungkin itu pula yang menyebabkan penampilan di edisi ini menjadi berbeda. Apanya yang berbeda? Warana! Ya warna, karena edisi ini tiap lembarnya telah berwarna. Biasanya komik-komik Si Buta Dari Goa Hantu masih hitam putih. Tapi ini benar-benar berwarna!!

Gambar dan cerita masih asli karya dari Ganes TH. Tapi untuk pewarnaannya, entahlah siapa yang memberikan sentuhan itu, tak begitu jelas. Karena dalam buku komik itupun tidak ada penjelasan sama sekali mengenai hal itu. Sayang memang. Yang tertera hanya keterangan Desain Grafis oleh Agus Leonardus. Apakah kemudian dia sekaligus sebagai eksekutor pewarnaan halaman komiknya, tak tahu pasti.

Yang pasti, edisi ini memang menjadi benar-benar berbeda. Nuansanya. Karena “full color”. Bukan hanya sekedar warna. Ternyata pewarnaannyapun berhasil menangkap dan menyampaikan kesan suasana yang telah dibangun oleh Ganes TH.

Kisah ini diawali dengan tampilnya sosok Barada Mandrawata yang berjalan di senja hari, memasuki sebuah desa. Misteri langsung terbangun dari panel awal ini. Karena waktu Si Buta Dari Goa Hantu bertemu dengan penduduk di jembatan, mereka langsung berseru “Awas!! Mahluk iblis itu muncul lagi menghadang kita!!!”
Benarkah Barda Mandrawata yang terkenal dengan julukan Si Buta Dari Goa Hantu, yang suka menolong tanpa pamerih ini telah berubah menjadi iblis yang menakutkan?

Panel demi panel berikutnya, terus saja memojokkan Barda sebagai mahluk iblis yang harus di bunuh. Seakan-akan Barda telah benar-benar berubah manjadi iblis seperti kata penduduk itu. Barda akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa itu. Haripun telah larut malam.

Saat malam melarut yang telah selimuti desa itu, sosok Barda kembali munculkan diri di desa itu. Sekarang dengan sifat yang sungguh berbeda dengan biasanya. Melakukan kekerasan, pembunuhan, penculikan bahkan pembantaian. Siapakan dia? Benarkah Barda Mandrawata atau Si Buta Dari Goa Hantu telah berubah?
Hanya dengan membaca sampai akhir halaman, baru akan terjawab misteri perubahan sifat dari Si Buta Dari Goa Hantu.

Jalan ceritanya singkat, namun tetap seru! Konflik dan misteri tetap terjaga sampai akhir. Dengan gaya khas Ganes TH, maka cerita ini menjadi istimewa.Pola cerita yang belakangan ini umum dilakukan, bahkan oleh pelaku-pelaku sekelas JEAN CLAOUD VAN DAMME dengan Double Impact-nya dan juga JACKIE CHAN dengan Twins-nya. Pola ini telah dilakukan oleh Ganes TH pada tahun itu, tahun 1978. Keran!! Komik yang wajib baca dan wajib koleksi bagi pecinta komik anak negeri, seperti yang tertulis dalam sampulnya EDISI KOLEKSI.