Rabu, 11 Juli 2007

Komik Indonesia, Mati Karena Kutukan


Sumber: Bali Post, Minggu, Umanis, 4 April 2004

Komik buatan komikus Indonesia pernah berjaya dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu terjadi pada rentang tahun 1970-an. Pada masa itu, hampir setiap hari selalu saja ada komik baru yang terbit dan beredar. Taman bacaan yang menyediakan komik untuk disewakan tumbuh subur. Pengunjungnya kebanyakan anak sekolahan. Mereka seperti keranjingan membaca komik sehingga banyak yang melupakan buku pelajaran. Bisa jadi, karena itulah kemudian banyak para orang tua yang sangat memusuhi dan menyatakan perang pada komik. Namun, bagaimana “sejarah” komik Indonesia?

Ketika masa jayanya komik Indonesia, pusat komik pada waktu itu adalah Jakarta dan Bandung. Dari dua kota besar itulah komik lalu menyebar keseluruh kota di Indonesia. Namun demikian, ada beberapa kota lainnya lagi yang juga ikut meramaikan perkomikan di Indonesia, diantaranya Surabaya, dan Semarang. Pada era 1960-an, pusat perkomikan Indonesia justru berada di Medan. Saat itu Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn menjadi komikus yang amat disukai.

Lantas, yang menjadi pasar perkomikan Indonesia pada era 1970-an adalah Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Ganes TH, Hans Jaladara, Jeffry, SIM, Zaldy, RA Kosasih, Sopoiku, Usyah, Masur Daman, Leo, Djair, Wid NS, Ardisoma, Oerip, Hasmi, Tati, Hengky, dan sejumlah nama lainnya. Mereka hadir dengan cirinya masing-nasing seperti silat, roman, wayang, dan humor.

Puncak kejayaan komik Indonesia agaknya telah membuat “mabuk” para pelaku pasar perkomikan Indonesia. Kontrol terhadap kualitas komik yang dipasarkan menjadi sangat longgar, sehingga banyak kemudian bermunculan komik-komik dengan kualitas secara keseluruhan yang sangat jelek. Ini terutama ada pada komik-komik cerita HC Andersen yang dibuat oleh para komikus dadakan. Di samping gambarnya yang tidak bagus, tipografinya pun tidak memadai. Ini tidak berlaku untuk komik serupa buatan Gerdi WK.

Perlahan tapi pasti, pencinta komik Indonesai mulai berpaling. Taman bacaan yang menyewakan komik mulai sepi pengunjung, dan malahan ada yang langsung menutup usahanya itu. Para penerbit menghentikan kegiatannya karena pasar komik terlihat sudah jenuh. Para komikus tentu saja menjadi orang yang sangat terpukul oleh situasi ini. Tetapi syukurlah pada masa itu Koran dan majalah masih mau menyediakan halaman untuk di isi komik. Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Wid NS, Hasmi, Masur Daman, Ganes TH, dan sejumlah komikus yang berkualitas lainnya, karya-karyanya masih bisa dinikmati di Koran Sinar Harapan (Suara Pembaharuan), dan majalah remaja HAI. Sementara di Bali, khususnya Koran Bali Post edisi Minggu, sempat menyediakan halaman tertentu untuk pemuatan komik dari komikus lokal.

Komik Indonesia makin terpuruk saja ketika koran dan majalah mulai menggeser ruangan dari komik. Komik lantas “tidak punya rumah” dan “tidak mampu mengontrak rumah”. Pelan namun pasti, komik Indonesia kemudian masuk ke liang kubur. Apalagi setelah masuknya manga (komik Jepang) yang memenuhi rak-rak toko buku dan kamar anak Indonesia. Malahan yang lebih memprihatinkan lagi, ada komik Jepang yang cara membacanya masih tetap dari belakang, padahal bahasanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Anehnya lagi para orang tua sekarang, tidak ada yang memusuhi komik.

Dewasa ini komik Indonesia boleh dikatakan sudah mati, seiring berpulangnya para kamikus seperti Yan Mintaraga, Ganes TH, SIM, Teguh Santosa, Wid NS, dan Tagus Hardjo. Boleh jadi, mereka itu adalah para “pahlawan” komik Indonesia yang pernah begitu perkasa di bumi Nusantara. Sepertinya tak ada yang merasa kehilangan, apalagi merasa berduka.


Relief Candi
Apakah komik itu? Kamik adalah sebuah buku yang berisi gambar dan tulisan (cerita). Oleh karenanya, buku yang satu ini juga dikenal dengan sebutan cerita bergambar (cergam) – sebuah cerita dirangkai pada panil-panil yang berisi gambar, tokoh-tokohnya berpikir dan berbicara melalui gelembung-gelembung yang berisi kata-kata. Namun, pada awal kehadirannya, tepatnya ketika Medan menjadi pusat perekonomian di Indonesia, tampilan komik tak seperti sekarang. Pada masa itu, para komikus tidak memakai gelembung kata, tetapi langsung menulis kata-kata yang diucapkan para tokoh, menyatu dengan kalimat lainnya.

Dilihat dari bentuknya, agaknya beberapa peninggalan sejarah masa lalu bisa dianggap sebagai cikal bakal dari komik Indonesia. Tengoklah relief yang ada pada dinding-dinding candi yang ada di Jawa. Di sana terlihat gambar-gambar ukiran dalam panil-panil yang menceritakan sesuatu. Demikian pula halnya dengan relief dan gambar yang ada di banyak pura di Bali. Juga terlihat adanya kesamaan dengan komik yang dikenal dewasa ini. Cuma dalam relief dan gambar tersebut tidak ada tulisan yang menyertai sebagai keterangan gambar.

Lukisan wayang Kamasan-pun agaknya bisa dikatakan sebagai cikal baka; perkembangan komik di Indonesia. Pada lukisan wayang Kamasan, disamping gambar, juga ada tulisan yang berfungsi untuk menjelaskan gambar. Bidang kanvas-pun sering dibagi menjadi 4-5 bidang kecil, masing-masing bidang di isi gambar dan tulisan. Gambar pada masing-masing bidang berhubungan dan menjalin sebuah cerita. Gambar pada langit-langit bangunan Kerta Gosa di Klungkung bisa jadi merupakan komik terbesar yang pernah dibuat di Bali. Pun dengan lontar-lontar yang ada di Bali, kalau dilihat dari tampilannya, bisa juga dianggap sebagai periode komik sebelum dikenal adanya kertas di Bali, dan sebelum komik dibuat menyerupai buku jilid.


Tonggak Awal
Periode Medan bisa dijadikan sebagai tonggak awal kesuksesan kimik Indonesia di negerinya sendiri. Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn adalah dua komikus yang pantas disebut pembaru. Karya keduanya yang bertemakan cerita daerah Sumatra, terlihat sangat ilustratif. Komik karya mereka menawarkan nilai estetis yang sebelumnya terabaikan. Pada masa itu, terutama Taguan Hardjo, gaya komiknya yang sangat khas, terlihat dalam banyak komiknya ia sudah menggambar dengan memperhitungkan angel yang bervariasi. Bukan itu saja, bakat besar yang dimilikinya kemudian menghasilkan gambar-gambar yang sangat indah dan atraktif. Namun sayang, mereka tidak memiliki penerus, sehingga pada tahun 1971, penerbitan komik di Medan pun kolaps.

Kesuksesan komikus Medan lalu berlanjut ke kota-kota besar di Jawa seperti Bandung dan Jakarta, Solo, dan Surabaya. Pada masa inilah muncul nama-nama komikus Yan Mintaraga, Ganes TH, Tegus Santosa, Hans Jaladara, Djair Warni Ponakanda, Raf ZS, Hasmi, Wid NS, Rim, Sim, Zaldy, Jeffry, Usyah, Hengky, Mansur Daman, Yudah Noor, dll. Ketika itu, dua komikus wanita yang cukup produktif adalah Tati dan Wied Senja. Mereka umumnya menggarap tema roman dan silat untuk cerita komiknya. Sementara untuk tema pewayangan yang kemunculannya lebih awal guna meredam dominasi komik Barat, banyak digarap oleh Ardisoma dan RA Kosasih. Tema kocak atau dagelan banyak dikomikkan oleh Oerip, Inris, dan Sopoiku. Boom komik menyebabkan banyak kemudian bermunculan komikus-komikus baru. Ada yang berkualitas, namun lebih banyak yang tidak, terutama dari segi gambarnya. Pasar kemudian dijejali komik-komik dari cerita HC Andersen dan Grim. Ceritanya memang bagus, namun gambarnya keteteran. Pada waktu itu setiap hari selalu saja ada komik baru yang beredar di pasaran. Mungkin karena peluang pasar yang sangat menjanjikan, para penerbit dan komikus lupa untuk mempertahankan mutu komik yang akan diterbitkan. Pada akhirnya pembaca komik menjadi bosan dengan cerita yang dikarang seadanya, ditambah lagi dengan gambar yang jauh dari nilai artistik.

Kini, disaat buku komik terjemahan semacam Doraemon, Lets And Go, Detektif Conan, hingga Monika banyak beredar dipasaran, komik Indonesai justru menghilang. Kalaupun ada, komik tersebut, umumnya dipajang di tempat yang luput dari perhatian orang. Seandainya-pun ditempatkan ditempat yang bagus, jarang sekalia ada orang yang mau memperhatikan. Agaknya komik Indonesai sudah termakan kutukan masa lalu yaitu kutukan dari para orang tua yang anti-komik. Tetapi anehnya, kematian komik Indonesai justru mengawali kebangkitan komik asing di negeri ini. Walaupun komik asing belum tentu lebih bagus dan lebih bermoral dari komik buatan komikus lokal, dewasa ini jarang sekali ada orang tua yang mengutuk dan mengharamkan komik untuk dibaca oleh anak-anaknya. Ah, komik Indonesia nasibmu kini….
§ gungman

..................
Tulisan yang di unduh dari surat kabar Bali Post itu, memperlihatkan bagaimana nasib komik Indonesai dua tahun lalu. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah masih seperti itu? Atau sebaliknya? Pada kenyataannya, belakangan ini rasanya mulai membaik, dari segi kehadiran komik Indonesia. Beberapa komik lama yang di re-master mulai menggeliat. Mulai menampakkan dirinya. Miskipun belum sejelas di masa lalu. Pelaku atau pengemar komik Indonesai mulai gerah, beberapa percetakanpun mulai membuka diri terhadap hadirnya komik lokal ini. Dengan semangat yang sama, demi bangkitnya kembali komik Indonesia. Hanya, mudah-mudahan saja semuanya tidak sekedar eforia atau istiah umumnya “hangat-hangat tahi ayam”....sebentar aja dingin.

Kalau dilihat dari generasi muda, minimal dilingkungan yang dapat terjangakau, penerimaan terhadap komik Indonesia masih belum begitu terasa. Entahlah apa sebabnya. Apakah sama dengan yang di ungkap pada artikel Bali Post tersebut? Entahlah. Atau karena memang budaya masyarakat kita yang memang tidak suka pada kasanah bangsa sendiri. Banyaklah contohnya. Bahasa, mereka lebih fasih berbahasa asing yang kadang lebih asing dari orang asingnya sendiri. Berpakain meniru gaya negara tertentu yang belum tentu pas dengan kondisi kita. Begitu juga dalam membaca komik, kalo bukan maga...gak mau baca. Meraka pikir manga selalu bagus. Karena itu komik dari Jepang. Atau mungkin juga kita sudah kalah propaganda oleh negara lain. Kita sedang senang dan bangga terjajah. Di segala segi. Dan mungkin juga berlaku dalam perkomikan kita dewasa ini.

Rasanya untuk dapat berbenah kita harus sadar dengan beberapa hal penting, seperti di bawah ini:

Sampaikapan hal ini akan terjadi? Sampai kita sadar! Kita-lah yang wajib menjawabnya. Maunya sampai kapan!

Untuk apa? Untuk menghargai karya anak bangsa, bangsa kita sendiri, Bangsa Indonesia.

Haruskah? YA! Demi sebuah Martabat.
Martabat? Komik gitu loh!, Sehebat itukah permasalahannya? Ya!, karena Komik bergerak di bidang seni, budaya, tingkah laku, cermin kecerdasan. Lihatlah Manga....hanya dengan lembaran-lembaran kecil itu kita bisa mengenal nama-nama daerah satu negara, ciri buda mereka, cara berpakaian mereka, imajinasi meraka, keahlian gambar mereka, yang pada kenyataannya bisa membius kita untuk terus menerus merogoh saku belanja kita untuk membelinya. Lihat juga pengaruhnya, kita meniru cara menggambar figur seperti yang mereka lakukan dan kita bangga waktu kita bisa melakukannya. Bahkan ada yang menyamarkan nama ke-Jepang-Jepang-an untuk mengarang sebuah komik biar bisa diterima di kalangan pembacanya. Apakah dengan melihat ini bukan merupakan permasalahan yang hebat.
Itu baru sebagian kecil dari hal besar yang harus dijadikan titik tolak. Yang jelas kalau kita mau, pasti kita bisa. Tidak sedikit generasi muda kita punya kemampuan yang tidak kalah dengan mereka-mereka yang dari luar sana. Yang perlu kita tiru adalah, bagaimana cara mereka bekerja, cara mereka berpromosi, cara mereka menggali ide cerita, dan cara mereka menjadikan kita jatuh cinta setengah mati. Kalau kita tidak ingin dunia komik Indonesia mati. Karena rasanya tidak ada kutukan disini.

Tidak ada komentar: