Rabu, 11 Juli 2007

Si Buta Dari Goa Hantu :: Misteri di Borobudur

Judul : Misteri di Borobudur
Katagori : Cerita Silat
Pengarang : Ganes TH
Sampul : Ganes TH, G. Santosa, Erwin Prima Arya
Penerbit : Pustaka Satria Sejati
Ukuran : 15 cm X 20,5 cm
Tebal : 126 Halaman

Dicetakan pertama kali tahun 1967
Cetak Ulang Re-master: Oktober 2005







“Tuhan telah menciptakan jalan ini untuk ku tempuh, langit tempatku bernaung, pohon tempatku meneduh dari terik sang mentari dan hujan. Aku berada di mana-mana. Itulah duniaku...!”

Sebait kata yang diucapkan oleh Barda Mandrawata, Si Buta Dari Goa Hantu. Kata-kata penutup dari kisah awal perjalanan panjang ini. Kata-kata yang menghiasi panel halaman terakhir dari seri pertama Si Buta Dari Goa Hantu. Kata-kata yang mewakili “takdir”-nya sebagai seorang petualang, pembela kebenaran. Dan kata-kata ini pulalah yang menghiasi halaman pertama dari edisi kedua yang berjudul Misteri di Borobudur.

Candi Borobudur, candi yang megah itu, yang sudah terkenal diseluruh dunia, kekayaan yang tak ternilai dari bangsa ini, menjadi setting kisah ini. Seperti halnya Borobudur itu sendiri yang merupakan sebuah harta warisan, dan harta warisan yang ditanam dan disimpan dekat candi megah inilah yang menjadi pangkal cerita kali ini. Harta warisan yang seharusnya membahagiakan generasi penerusnya, kini menjadi bencana akibat keserakahan. Ini juga bisa menjadi cermin bagi kita untuk bisa bersikap yang lebih afir akan harta warisan yang telah kita miliki. Supaya dapat menjadikan kebahagiaan bagi generasinya. Sebuah kisah yang sarat akan pesan.

Penghianatan, cinta segi tiga, dan penghalalan segala cara, untuk mencapai tujuan, menjadi alur utama kisah ini. Bagai sebuah labirin. Berliku, penuh misteri. Banyak tokoh terlibat. Dua generasi. Dengan cinta segi tiga. Dendam dan harta.

Dalam kisah ini, ada satu alur utama, harta warisan Raden Mas Bimo Adirekso. Dalam perjalanan perebutan harta warisan ini, timbul rangkaian penghianatan. Karakter tokoh yang kadang tak terduga selalu menghiasi karya Ganes TH ini. Jangan pernah menyimpulkan sesuatu, sebelum selesai membaca sampai pada halam terakhir.

Kepiawaian Ganes TH dalam merangkai kisah, terlihat jelas dalam episode ini. Dia tidak hanya sekedar menjadikan Candi Borobudur sebagai setting semata. Tapi sekaligus menjadikannya sebagai kunci dan sekaligus saksi bisu sebuah keserakahan manusia. Tanpa Borobudur maka dalam kisah ini harta itu tidak akan ditemukan. Kuncinya adalah Borobudur itu sendiri. Penautan kisah yang cerdik. Sehingga dalam kisah ini keberadaan Candi Borobudur memang menjadi bagian dari cerita. Bukan hanya sekedar pemanfaatan ketenaran situs itu saja.

“Hidup adalah bagian gumpalan mega....
Kadang berkumpul, bercerai, dan berkumpul kembali....”

Satu lagi pesan indah yang disampaikan oleh Ganes TH lewat karekter Si Buta Dari Goa Hantu, sebagai penutup panel halaman terkahir. Pesan yang bisa menjadi renungan bagi kita. Begitulah Ganes TH kadang seringkali menyelipkan pesan-pesan indahnya dalam tiap karyanya.

Dalam edisi ini, dilengkapi pula dengan sambutan dari Djair Warni (pencipta “Jaka Sembung”). Adapula komentar-komentar singkat dari: Arswendo Atmowiloto, dan Hans Jaladara. Buku ini ditutup dengan komentar dari Herry Topan produser/sutradara film yang pernah mengangkat kisah Si Buta Dari Goa Hantu ke layar kaca. Dan buku ini semakin lengkap dengan ditampilkannya beberapa photo yang diambil dari film layar lebar yang di bintangi oleh Ratno Timoer.

Hanya saja, untuk edisi ini, rasanya dari segi cover masih kurang menarik, terasa saling tumpang tindih. Pengambilan momennya-pun rasanya kurang pas, karena jika kita membacanya secara keseluruhan ada beberapa alternatif momen yang sangat bagus untuk dijadikan cover yang bisa juga mewakili jalan ceritanya. Momen dimana saat Barda Madrawata terpekur kelelahan diantara asap belerang (panel 1, halaman 75) dengan catatan sudut pandangnya dirubah dari depan.



Momen lainnya yang bagus adalah, ketika Si Buta Dari Goa Hantu sedang menyangga dua tubuh dengan kelelahan sehingga sampai tersimpuh diantara bara dan asap belerang (panel 2, halaman 67), dan untuk yang ini bisa dibuat lebih dramatis dengan meletakkan dua tubuh itu terkulai di samping kanan dan kiri Barda yang sedang tersimpuh.





Alternatif berikutnya adalah, ketika Barda Mandrawata berdiri lesu di sisi stupa candi Borobudur sementara pada latar depan tampak tubuh Sekar Ningsih duduk bersandar di salah satu stupa lainnya yang sedang menatap Barda dengan penuh keheranan (panel 1, halaman 82).


Semua momen ini bisa menjadi pilihan karena hampir sama-sama menunjukkan misteri...keganjilan...”ada apa dengan Barda?”, cuma memang butuh sentuhan lagi disana-sini, begitulah kira-kira perasaan saat melihat momen-momen itu. Tapi semuanya kembali berpulang pada tim kreatifnya. Bagaimana mereka melihat sisi yang pas untuk sebuah cover.

Terlepas dari semua itu, episode ini tetap menawan untuk di baca dan layang menjadi koleksi bagi penggemar komik anak negeri.

2 komentar:

erwinprima mengatakan...

iya mas.. aku juga kurang suka ama kovernya.. kurang sexy.. itu bikinan gienardy. Yang desain aku bisa dilihat di :
http://erwinprima.multiply.com/photos/photo/5/6

damuhbening mengatakan...

akhirnya kita bisa ketemu juga mas,

ya seperti itu yang saya rasakan mas, aku punya alternatifnya cuma belum rampung ngewarnainya,,,rencananya tak posting juga di sini kalau udah kelas