Senin, 27 Juli 2009

Terbukanya Kembali Padang Kuru Setra


AH! Apa yang mau diurai kembali dari kerontangnya tanah yang pernah manjadi saksi bisu dan sekaligus mematrikan, menyerap, tiap tetesan darah keluarga besar? Keluarga yang masyur pada jamannya. Yang kemudian punah dan musnah bersama hembusan angin serta pergerakan waktu. Menjadi misteri, akan kebenaran keberadaannya.


Kebesaran satu wangsa, kini menjadi layaknya cerita dongeng tidur, terus bergulir, merantai dari generasi ke generasi, bahkan menyeberangi samudra serta budaya, melampaui batas pembatasan abad oleh kesadaran manusia, menuju abad-abad baru yang nanti mungkin akan bertumbuh kemudian. Merantai mewujud menjadi pesan tembang dharma, keabadian yang terus berubah.


Bharata, Kuru, itulah wangsa besar itu. Wangsa yang kini menjelma menjadi bait syair, guratan pena, pahatan batu, torehan di dedaunan lontar, bahkan berpindah pada lembaran-lembaran kain penghias ruangan dan kaos-kaos para generasi biru juga generasi setelahnya.

Kini, wangsa itu sudah tak beragama, wangsa ini telah melampauinya, berwujud menjadi “kesadaran”, tutur kehidupan, tentang baik dan buruk bahkan abu-abu, cermin yang tak harus dibelah lantaran hati tak sepakat. Bahkan harus diresapi, dipandangi lekat, agar pesannya merasuk ke dalam jiwa, alam bawah sadar.

Toeeeettttt!!!!
Drug! Drug! ..Drung!

Sangkakala kulit kerang telah menggema, ditimpali dentuman genderang perang, menembus tarian debu yang mengepul, menari, bertingkah ditiap jiwa-jiwa yang ranggas yang sedang berebut sebuah “kuasa”, berlandaskan pesan yang berbeda, keserakahan dan kewajiban akan hak.

Tiap butir debu dan kerikil, tiap helai rumput, tiap uap air tanah, tiap serangga kecil yang bersemayam dalam tanah, tiap sisa jejak manusia dan binantang yang berbaur, tiap tetes keringat, tiap helaan nafas; kini telah berangsur berubah wujud menjadi sosok-sosok yang mengerikan, haus darah, memburu nyawa apa saja yang ada di sekitarnya, tanpa ampun, tanpa pilih kasih. Sosok-sosok jelmaan ini akan segera menjadi sang pencabut nyawa, merasuk ke dalam tiap pedang, panah, tombak, keris, tangan, gada, tameng, dan semua senjata; memburu mencari mangsa. Akan berhenti ketika darah membanjir di padang gersang ini, padang Kuru Setra.


Berulang kisah ini dituturkan, dalam banyak media. Bahkan sepertinya kisah ini telah mewujud dalam ragam “kepahaman”. Dan kini, kisahnya kembali hadir, yang tercipta dari rangkaian serpihan-serpihan terpisah ditiap waktunya, pada masa ketika kisah ini dirangkai. Oleh tangan piawai penuh kharisma, Teguh Santosa. Kisah itu kini menyeruak, menggeliat, disatukan dalam dua bundel komik, yang sudah selayaknya disebut sebagai novel grafis.

Kemunculannya menjadi terasa sempurna, merajut kerja rentang generasi yang berbeda. Hadir dengan kuwalitas yang prima. Kerja dua generasi yang kemudian berhasil menciptakan nuansa baru.

Berkali kisah ini muncul, semuanya lahir dari tangan-tangan terampil di bidangnya. C. Rajagopalacari, R.A Kosasih, Nyoman S Pendit, Pitoyo, dan tentunya masih banyak lagi lainnya. Teguh Santosa salah satunya, yang kini hadir menghiasi waktu dan ruang baca.

Kehadiran Mahabharata-Bharata Yuda-Pandawa Seda, buah tangan sang maestro komik, Teguh Santosa, rasanya memang tidak perlu dikupas lagi, segalanya telah nikmat, meskipun masih ada beberapa bagian yang mesti diberi catatan penting. Judul episode Arjuna Sumbadra (yang tertulis Arjuna Sumbrada), dan beberapa bagian kecil yang mesti disesuaikan lagi, lantaran sasar pasarnya telah berubah, berbeda ketika kisah ini dibuat.

Untaian kisahnya yang mengambil beberapa sudut pandangpun, rasanya tidak perlu diperdebatkan. Semua ini lantaran memang bicara “rasa” dan “pemahaman”, juga akibat rantai tutur dari tiap masa dan lokasinya, yang tidak menutup kemungkinan akan menciptakan perbedaan tafsir dan cara menungkapkannya.

Ada jejak cacat fisik di sana-sini, memang terasa menganggu, percikan kecoklatan, gambar yang tidak tercetak sempurna, hal inilah yang mestinya dikemudian hari menjadi catatan penting bagi PLUZ+ sang penerbit. Dan rasa “maklum”pun menyeruak, ketiak mendapatkan sedikit penjelasan dari salah satu pelaku di penerbit tersebut, Gienardy, tepatnya. Penjelasan tentang banyaknya kendala teknis selama masa pencetakannya. Semoga kedepannya menjadi lebih baik.

Yang juga kemudian menjadi penting untuk diperhaikan di sini adalah, ketika melibatkan generasi muda, selayaknya mereka juga mau berbaur dengan “roh” kisah besar ini. Tidak sekadar gagah-gagahan dengan keahlian gambarnya. Namun, kepiawaian mereka juga harus seimbang dengan kepahamannya pada inti cerita yang sedang mereka geluti. Harapanya kemudian adalah, kesempurnaan unjuk kepiawaian tangan terampil mereka bersatu dengan “roh” kisah ini.

Jejak perdebatan cukup sengit pada kemunculan sampul model pertama, menjadi contoh nyata kondisi ini. (rasanya sudah tak perlu lagi diurai di bagian ini).

Kemudian kemunculan sampul kolaborasi dua seniman tangguh (apriadi dan Anto), jika diperhatikan dengan seksama juga mengalami penterjemahan yang berbeda dari naskah yang sedang mereka bauri. Ini terjadi pada sampul Bharata Yuda.


Tampilnya sosok Srikandi ala ketoprak (wayang orang), yang sangat berbeda jika kita sesuaikan dengan penggambaran di dalam panel-panel karya Teguh Santosa. Dalam sampul, Srikadi tampil sempurna layaknya perempuan cantik dengan dada peremuan berbalut kain panjang. Sementara dalam halaman kisah, berhasil tampil sempurna sebagai lelaki bertelanjang dada dengan jiwa wanita. “Rasa”ku menjadi terganggu. Mungkin para penikmat lainnya akan merasakan kesan yang berbeda. Atau bahkan bisa jadi ada yang berpendapat, “apa pentingnya?”.

Ganjalan lainnya adalah, dalam sampul bersama ini, sosok Adipati Karna, tiba-tiba berubah wujud menjadi lelaki kidal. Sementara dari banyak naskah yang sudah terbaca sampai saat ini, belum ditemukan rujukan semacam itu. Atau, mungkin saja buku-buku bacaaanku masih sangat kurang sehingga tak menemukan sama sekali hal semacam ini, sementara sang pembuatnya bisa jadi memiliki rujukannya. Atau mungkin cara pandangnya yang memang melampaui “kepahaman”ku sebagai pembaca dan penikmat. Teguh Santosa-pun tidak “meng-kidal”kan Karna.

Apapun itu, kerikil ini hanya kecil belaka, yang hanya sempat mengganggu mataku saja, brangkali. Jadi memang tidak terlalu penting untuk dibesar-besarkan. Tidak akan mengganggu keberadaan Komik (novel Grafis) ini.

Yang pasti, kepulan debu tiap kali kaki-kaki menghujam bumi, nyanyian nyaring dari jiwa-jiwa sekarat tatkala sekarat, gelegar kasar dari tawa mulut-mulut serakah tiap kali lawat turjungkal, helaan nafas sedih melihat orang-orang terdekat ambruk, doa kepasrahan dari sang sesepuh diam, dan kutukan dari mulut-mulut penuh gerutu, telah gemebyar hiasi waktu. Dalam ruang bacaku. Memenuhi imajinasi, kembali ke masa lalu.

Padang Kuru Setra telah terbuka kembali.



Salam damai
damuhbening

Tidak ada komentar: