Sabtu, 30 Juni 2007

Si Buta Dari Goa Hantu :: Prahara Di Bukit Tandus

Judul : Prahara Di Bukit Tandus
Katagori : Cerita Silat
Pengarang : Ganes TH
Sampul : Agus Leonardus
Penerbit : Nineart Publishing dan Bentang Pustaka
Ukuran : 16 cm X 21,8 cm
Tebal : 64 Halaman

Dicetakan pertama kali tahun 1969
Cetak Pertama : 19 Maret 2004 (begitu tertulus dalam bukunya)



EDISI KOLEKSI, demikian tercantum pada cover buku komik Si Buta Dari Goa Hantu seri kelima ini. Melihat angka tahun terbitnya untuk edisi koleksi ini, rupa-rupanya komik ini merupakan cetak ulang untuk pertama kalinya setelah sekian lama berakhirnya masa petualangan Barda Mandrawata.

Seri ke 5? Kenapa seri ini yang menjadi pilihan sebagai cetak ulang pertama? Entahlah, tak tahu pasti apa alasannya. Mungkin hanya para penggagas dan percetakanlah yang tahu alasannya. Edisi ini mungkin juga terbit bersamaan dengan Edisi 10 : Si Buta Kontra Si Buta, bagian dari perjalanan panjang Si Buta Dari Goa Hantu. Semua ini bisa dilihat dari kesamaan angka saat terbitnya. Apapun alasannya mungkin menjadi tidak terlalu penting. Yang terpenting kemudian adalah, kita bisa kembali menikmati petualangan Barda Mandrawata yang telah lama menghilang, bersamaan dengan “mati surinya” dunia Komik Indonesia.

Membaca buku edisi ini, dari halaman kehalaman, serasa membaca sekumpulan cerita berambung, seperti sebuah kumpulan cliping komik. Kenapa bisa begitu? Semua karena hampir di tiap beberapa lembar halaman selalu saja di panel atasnya, ada bagian Judul yang terpampang jelas, dan pengulangan panel sebelumnya. Dan ini berulang rata-rata tiap 4 halam. Pengulangan penulisan judul pada panel atas ini berlangsung terus sampai cerita komik ini selesai. Inilah yang juga terasa unik dari edisi ini.

……..
Awan mendung menelungkupi sebuah dataran berbukit di suatu desa terpencil. Saat itu serombongan serdadu berkuda berderap menuju sebuah pondok yang tegak menyendiri ditengah padang sabana yang luas dan tandus itu.

Seorang pria setengah umur tampak sibuk mengampak kayu. Seolah acuh atas kedatangan pasukan Marsose tersebut.

Kapten Simon : ”Hei! Kamu!!”
Penduduk : “Oh..?!!
Selamat sore tuan-tuan…! Ada sesuatu yang tuan-tuan perlukan
dari kami?!!!”
Kapten Simon : “Ya! Serahkan bajingan buta itu! Cepat! Sebelum senjata-senjata itu
ikut bicara”

(kapten Simonpun menunjuk ke arah pasukannya yang siap tembak)
Penduduk : “Bajingan buta…?!!”
“Siapakah yang tuan maksud…?!!”

……….


Itulah sepenggal alur cerita yang ada pada panel-panel halaman pertama dari kisah ini. Begitu mengerucut. Tanpa basa-basi, langsung pada pokok permasalahan. Rupanya ada permasalahan diatara Si Buta Dari Goa Hantu dengan Kapten Simon Kepala pasukan Marsose tersebut. Sehingga kelihatan sekali kalau Komandan Simon begitu bernafsu untuk menemukan Barda.

Begitulah kadang Ganes TH bertutur. Tanpa basa-basi. Langsung ke pokok permasalahan. Teka-teki langsung terbangun. Bukan hanya itu. Ketegangan kisahnya langsung menyeruak di depan. Frame demi frame terasa bergerak cepat. Satu-satu konflik saling mengkait, saling hubung. Namun tetap dalam rangkaian misteri.

Setelah keteganag awal mereda, tiba-tiba saja cerita mengambil pola “flash-back”. Dengan tubuh yang letih Barda merebahkan tubuhnya dalam gubuk yang sepi. Di rumah penduduk yang melindunginya dari kejaran pasukan Marsose. Saat itulah “flash-back” di mulai. Barda mulai merangkai kembali bagaimana awal kemelut itu terjadi.

Harta rampasan, itulah inti utama permasalahan yang sedang terjadi. Namun ternyata tidak sesederhana itu. Di dalamnya ada kisah yang berbelit. Intrik, kecurangan, penipuan, kelicikan dan juga fitnah, berbaur jadi satu. Kadang tidak di sangka-sangka kalau seorang tokoh yang kelihatannya baik ternyata berhati busuk.

Begitulah kisah ini teramu sangat apik. Hampir seluruh bagian adalah “flash-back” yang di tuturkan oleh Barda Mandrawata. Yang bercerita dengan rinci bagaimana masalah itu bisa terjadi.

Yang mengejutkan lagi adalah, pada sajian panel-panel tekhir. Lima halaman penutup. Cerita kembali diawal, dimana Barda merebahkan diri dalam rumah salah satu penduduk di tengah gurun itu. Lima halaman terakhir yang sangat tragis. Karena pada panel-panel tersebut tesaji pembunuhan yang tak seharusnya terjadi. Bencana menimpa pemilik rumah yang memberi perlindungan pada Si Buta Dari Goa Hantu ini dari kejaran pasukan Marsose. Tragisnya adalah, kematian yang sia-sia hanya kerena sebuah keserakahan.
Perhatikan kata penutup ini yang tersaji pada panel paling akhir dari kisah Prahara di Bukit Tandus:

“Benar naif! Nyawa suami dan putramu itu telah kau tukar dengan hanya
Sekeping ringgitan emas serta beberapa potongan sisa makanan monyet!!
Kau telah menciptakan prahara di atas kedamaian keluargamu sendiri.”

Pada frame terakhir, tampak seorang istri sedang menangisi kematian suami dan anaknya. Sedangkan Barda, Si Buta Dari Goa Hantu telah pergi menjauh meninggalkan rumah itu. TRAGIS!

1 komentar:

Unknown mengatakan...

pengen buku-buku si buta dari go hantu di mana ya ? harga berapa ?

kirimkan ke email < arjun_ckp@yahoo.com >