Komik adalah mahluk yang sangat jelas sosoknya, sekaligus sangat tidak jelas. Jelas, karena siapa yang kesulitan mengenali komik? Tapi cobalah mendefinisikan apa itu komik. Atau cobalah tetapkan, apakah komik itu seni rupa atau seni sastra.
Demikian Hikmat Darmawan mengawali tulisannya dalam rubric JEJAK di majalah MATABACA volume 3 No. 11 Juli 2005. Dalam tulisannya itu Hikmat Darmawan memberikan judul : “Komik : Antara Seni Visual dan Ambisi Sastrawi”.
Dalam tulisan selanjutnya disampaikan bahwa Scott McLoud dalam Understanding Comics yang sudah diterjemahkan oleh Penerbit KPG, menurutnya komik adalah: imaji-imaji gambar atau imaji lainnya, yang dijajarkan dalam urutan yang disengaja untuk menyampaikan informasi dan/atau menimbulkan tanggapan estetis pada pembacanya.
Sementara dituliskan juga definisi cerita menurut E.M Forster adalah: narasi berbagai kejadian yang disusun dalam urutan waktu.
Maka, kalau direnungkan dengan kesederhanaan, maka kebingungan atas definisi komik pada artikel tersebut tidak perlu diperpanjang. Apalagi harus memperbadingkanya kesana kemari hanya untuk meyakinkan bahwa kebingungan itu memang milik kita semua. Bahwa komik memang tidak terdefinisikan. Apalagi jika harus ditarik ulur kearah sastrawi. Rasanya kok tidak perlu seberbelit itu. Tapi mungkin juga pemikiran yang akan teruraikan dibawah dapat diartikan hanya sebuah pemikiran sempit. Karena tidak bertimbang pada banyak aspek teoritis yang berbahasa keren (asing). Karena mungkin saja pemikiran ini hanya sebuah pemikiran yang sangat sederhana yang hanya menggunakan logika cara pandang pribadi, yang tidak berdasar pada literatur-literatur tebal.
Rasakan dengan sederhana saja. Apa yang membuat kita tertarik untuk membaca buku, menonton pertunjukan dan atau film, dan begitu juga dengan komik. Apanya yang membuat kita untuk meluangkan uang dan waktu untuk membacanya/menontonnya.
Buku. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa saat kita ingin membaca buku adalah, ketertarikan kita pada satu hal. Apapun itu. Maka begitu kita melihat buku seperti yang kita sukai maka kita akan berusaha untuk membacanya. Apanya yang menarik? Tema bahasannya, kandungan yang ada dalam buku itu. Seperti yang kita sukai. Jadi kadang kita tak perduli lagi apakah buku itu menarik dari segi visual atau tidak. Tetap saja kita baca.
Pertunjukan dan atau film. Apa yang membuat kita menyaksikannya. Pertama, tema atau isinya, seperti yang kita suka. Kedua, visual. Viasual disini termasuk pelaku dan tampilan yang kita tonton. Dalam suatu pertunjukan, visual sangatlah penting. Sebagus apapun cerita atau tema yang diusungnya, kalau secara visual tidak memenuhi standar keinginan kita maka pada akhirnya kita tidak puas. Bahkan banyak komentar akan keluar dari bibir-bibir kita. Semua terwujud dari ketidak puasan kita akan visual. Seharusnya begini, seharusnya begitu, semestinya si ini yang main jadi itu dan seterusnya.
Lalu cobalah membaca komik. Apa daya tariknya. Secara sederhana yang pertama dilihat adalah ilustrasi sampulnya. Sudah dapat dipastikan kalau kita tidak tertarik secara visual ilustrasi cover maka untuk kemudian membuka-buka isinya akan secara otomatis berkurang. Begitu secara visual ilustrasi cover kita tertarik, maka ada keinginan untuk mengambil, membuka lembar demi lembar halam komik itu dan terakhir baru membacanya. Membaca biasanya baru dilakukan saat kita merasa tertarik dengan visual-visual yang tersaji dalam halamnnya. Pada umumnya demikian prosesnya. Dan setelah membaca biasanya baru berkomentar apakah ceritanya jelek visualnya bagus atau sebaliknya. Atau keduanya bagus dan juga sebaliknya.
Terkecuali pada suatu kisah yang sudah kita kenal dan kita sukai, begitu juga pada artist pembuatnya yang sudah kita pahamai baik secara karakter visual dan pola bertuturnya. Maka terkadang kita tidak bertimbang terlalu banyak.
Banyak jenis komik, ada yang disebut novel gravis, komik strips, dan masih banyak lagi lainnya. Tapi semua itu merupaka sekumpulan gambar yang berurutan mengikuti alur cerita dan semua itu saling berkait satu sama lain untuk betutur. Baik disertai dialog, narasi, sound efect, maupun tidak sama sekali, kadang gambar itu sendiri sudah bercerita tanpa harus di beri keterangan apapun. Pada intinya adalah, Gambar yang bercerita.
Dari kenyataan inilah, maka secara pribadi tersimpulkan bahwa komik adalah Gambar Bertutur atau sudah umum disebut Cerita Bergambar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar